Review Film Ala Ala : Gundala (2019)

21.17




Harapan.

Menurut gue itulah kata yang pas menggambarkan isi dan  film Gundala itu sendiri. Dalam film ini, tokoh Sancaka, si Gundala yang dimainin sama Abimana ini harapan untuk negrinya. Dan film Gundala ini, adalah harapan untuk perfilman Indonesia.

Ceritanya kurang lebih kaya gini,

Sancaka adalah anak satu-satunya dari seorang buruh. Ayahnya meninggal ketika dia masih sangat kecil, nggak lama kemudian ibunya juga pergi untuk kerja tapi nggak balik lagi. Sancaka terpaksa turun ke jalanan dan akhirnya jago beladiri kemudian bisa bertahan hidup sampai dewasa. Dari kecil memang takut petir karena selalu diincer petir, eh suatu hari kesamber petir lagi tapi malah jadi kuat.
Premisnya, seperti superhero kebanyakan lah. Hidup  susah, kemudian kesamber petir, kegigit laba-laba atau minum obat tau tau jadi kuat. Gitu. Tapi untuk Gundala, dia udah diincer petir dari kecil sih. Hidupnya malang dan keras, sehingga kita bisa tau kenapa dia jago berantem dan nggak mau ngurusin hdup orang.




Idenya bisa ditemukan di film superhero manapun, tapi yang bikin beda dari Gundala adalah budaya-budaya lokal tradisional yang tersebar di sepanjang film. Mulai dari Kang Cecep yang berantem sambil nari, dan setelah baca banyak mitos-mitos serta legenda tradisional yang disertakan dalam film ini.

Gue pribadi suka banget Gundala ini sebagai permulaan. Meskipun untuk gue pribadi konfliknya agak ambisius dan membuat tugas sancaka agak berat karena konfliknya bukan kapasitas dia, tapi ternyata tetep nyambung dan nggak bikin puyeng. Tetep bisa paham ceritanya dan terkesan sama ceritanya.

Jangan ketipu sama tone film ini yang kerasa dark, banyak banget humornya di film ini. Nontonnya nggak capek karena jokes nya. Selain punya sisi humor, Gundala ini juga kerasa horror di beberapa adegan.

 Ya iya lah, Joko Anwar.







Di awal memang agak sedikit lambat sih alurnya, tapi setelah nonton filmnya sampe beres gue baru paham kenapa harus dijelasin sepanjang itu. Kita bisa kenal Sancaka secara utuh dengan kita tau masa kecil dia. Tapi memang di akhir, agak sedikit ngebut alurnya. Jadi awalnya lambat dan makin akhir makin cepet. Mungkin sengaja supaya bikin penasaran. 

Yang membuat gue bingung lagi adalah latar waktunya. Kadang kerasa modern banget, kadang ngerasa kok kayak indonesia tahun 90 -an. Tapi nggak mengganggu sih. Cuman menimbulkan pertanyaan aja. 

Gue suka banget adegan berantem di Gundala yang beda, kretif, dan nggak ngebosenin. Apalagi pas berantem sama para anak asuh. Keren banget sih, meskipun Mbak Hanah agak masih sedikit kagok berantemnya. Tapi metode berantemnya gue suka, apalagi musik ketika berantemnya yang pake musik tradisional Jawa Barat. 

Biasanya nggak suka adegan berantem, tapi di film ini gue malah nunggu berantemnya. 






Secara keseluruhan, Gundala ini udah lebih dari cukup sebagai permulaan. Tidak sempurna, itu pasti. Tapi bukan berarti film ini nggak bisa dipuji. Nonton Gundala, untuk orang-orang seperti gue yang nonton film untuk menghibur diri bukan untuk mencela, pasti bakal takjub. Dan gue menyarankan temen-temen yang belom nonton untuk nonton. Karena memang bagus dan pasti menghibur. 

 Intinya, film Gundala ini bagus. Bisa dinikmati. Dan menyenangkan.


Rinda~






You Might Also Like

1 komentar

  1. Assalamualaikum..

    Salam ukwah dari saya untuk anda..

    Jom follow blog saya iya seo dan

    saya sudah follow blog anda #54

    Tinggalkan komen dan saya akan cuba membalas komen anda..

    Saya akan berusaha membalas kunjungan anda jika berkesempatan..

    Komen yang baik2 sahaja ye..

    Semoga ikatan ukhwah kita akan berterusan..

    Terima kasih sekali lagi..ya

    BalasHapus

Skilled-daydreamer